Jumat, 26 Februari 2016

hadist teatik tentang dokter tamu

AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
Hadist Tematik tentang Dokter Tamu


NAMA KELOMPOK :
1.HAFIFAH WIJAYANTI
2.LIDYA YULANDA SARI
3. INDAH MAYA SARI
4. TIA NUR HANIFAH
5. NOVITASARI TRIHASTUTI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AISYIYAH
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK
YOGYAKARTA
2016


Hadist Tematik tentang Dokter Tamu
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ
سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Al Laits dia berkata; telah menceritakan kepadaku Sa'id Al Maqburi dari Abu Syuraih Al 'Adawi dia berkata; "Saya telah mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sabdanya: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan menjamunya" dia bertanya; 'Apa yang dimaksud dengan menjamunya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "yaitu pada siang dan malam harinya, bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah bagi tamu tersebut." Dan beliau bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam."

Dalil Al Qur’an dan Hadist bertamu
Sahabat Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
 لاَ تَأتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَلَكِنَّ أئتُوْهَا مِنْ جَوَانَبِهَا فَاسْتَأْذِنُوا٬ فَإِنْ أَذِنَ لَكُمْ فَادْخُلُوا وَإلاَّ فَارْجِعُوا٠ 
"Janganlah kalian mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika tidak, pulanglah." (HR. Tabrani) .
Dalam hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya dilihat orang lain.
     Bisa jadi tuan rumah baru berpakaian rumah yang transparan, atau boleh jadi sedang sibuk bekerja sehingga perlu bersisir. Atau mungkin peralatan rumah tangga semrawut sehingga perlu dirapikan dan diatur lebih dahulu. Karenanya bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan mengkorek keburukan dan aurat. Padahal yang demikian dilarang dalam Islam. Karenanya Nabi saw memerintahkan agar kita tidak mendatangi rumah dari depan pintu, namun lewat samping pintu, kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan penuh kesopanan. 
Etika kedua dalam bertamu adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. Jika diijinkan kita masuk, jika tidak, kita pulang. Diijinkan masuk, tandanya dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain, atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain. Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika tidak dibukakan hendaklah kita pulang.
Menghargai tamu, memuliakan tetangga dan bertutur kata yang baik adalah wujud pengakuan dari beriman kepada Allah dan hari akhir, karena dengan melaksanakannya berarti membenarkan adanya Allah Swt.
1.    Menghargai Tamu
Maksud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup perseorangan maupun kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan sedekah. Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
a)      Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b)      Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c)      Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d)     Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
e)      Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
2.    Berkata yang Baik atau Diam
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah,“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bias dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mamp umaka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di luar ketigahal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan.Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat.
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga) emas dan peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa hingga ia menyimpan lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut untuk tahu bagaimana menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya dan diam pada tempatnya, tidak mengumpat orang lain, tidak mengadu domba mereka, tidak merendahkan mereka dengan ucapan, tidak memperolok mereka, tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain, dan lain sebagainya. Imam Ali as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya menguasai dirinya”. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Berikut akan disampaikan tentang sifat-sifat yang semestinya dimiliki oleh seorang dokter tamu muslim :
  1. Niat (yang ikhlas) dan mengharapkan pahala dari Allah.
  2. Amanah dan profesional dalam bekerja.
  3. Ihsan  dan  muraqabah (merasa diawasi oleh Allah).
  4. Tazkiyatun-nafs (pembesihan jiwa) dan muhasabah(introspeksi diri).
  5. Menuntut ilmu berkesinambungan dan berkelanjutan.
  6. Kepribadian yang istimewa dan akhlak yang baik; tawaddu’,  jujur, penyayang, adil, tolong menolong dan menyukai kebaikan bagi orang lain, malu berbuat dosa,  santun dan lemah lembut.
  7. Menghormati  hak-hak pasien.
  8. Tafaqquh fid-din (Mempelajari dan memahami hukum-hukum agama)terutama dalam permasalahan khusus yang terkait dengan kedokteran.
  9. Memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing.
(1). Niat yang Ikhlas dan Berharap Pahala dari Allah
      Pentingnya niat dalam amal dan mengharapkan pahala dari Allah
      Sesungguhnya seorang yang belajar ilmu kedokteran hendaknya mengintrospeksi kembali  niatnya. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting dan seyogyanya mendapatkan perhatian. Niat adalah pondasi  amal. Baiknya suatu amal ditentukan oleh dua syarat, yaitu; Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan mengikuti  sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niat yang ikhlas karena Allah akan membawa amal-amal yang bersifat duniawi  menjadi ibadah kepada Allah, di mana seorang muslim senantiasa mengharapkan pahala dan dan ganjaran dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Dalil-dalil syar’i
Dari Umar bin Khattab  Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [متفق عليه]
“Sesungguhnya setiap amal-amal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya hanyalah bagi setiap orang akan mendapatkan  apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya untuk apa yang dia niatkan itu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lebih mengutamakan pelayanan dari sekedar bayaran  
Sesungguhnya seorang dokter yang mencari wajah Allah dengan profesinya, maka Anda akan menemukannya sebagai orang yang sangat mementingkan pasiennya. Dia mencurahkan apa yang dimiliki dan dimampuinya demi kesehatan dan kebaikan pasien.
Dia mengobati pasien dengan  ilmu yang benar, tidak memberatkan pasien mengeluarkan  uang banyak, seperti melakukan pemeriksaan atau memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan berdasarkan ilmu kedokteran. Bahkan  kita menemukan dokter tersebut mengobati pasien dengan cara-cara yang sesuai dengan ilmu kedokteran yang benar di manapun dia bekerja.  Dengan semua itu dia mencari wajah Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Dia tidak mencari keterkenalan ataupun kekayaan. Namun apabila hal itu terjadi, maka itu semata-mata keutamaan dari Allah. Dia tidak tertipu dengan keterkenalan dan kekayaan itu. Orientasinya adalah keridhaan Allah, bukan keridhaan makhluk yang selera mereka cepat sekali berubah antara sore dan pagi hari.
(2). Amanah, Sungguh-Sungguh,  dan Profesional
Pentingnya amanah dan profesional dalam bekerja
      Sesungguhnya seorang dokter muslim seyogyanya untuk tampil istimewa dengan mewujudkan sifat amanah dalam praktek kesehariannya. Bahkan dia wajib mewujudkan hal itu dalam seluruh sendi kehidupannya. Di antara perkara yang menguatkan  kesungguhan dan profesionalisme seorang dokter adalah mementingkan tugasnya, tidak bermalas-malasan ataupun membuang-buang waktu, menghormati hak-hak pasien dan profesional dalam mengurus dan memperhatikan pasien sesuai prosedur guna menjalankan amanah sebagai seorang dokter.



Dalil-dalil syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ 
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 1-2)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikul-nya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij: 32).
Dalam sebuah hadits yang mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ 
“Sesungguhnya Allah menyukai apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan suatu pekerjaan dengan sempurna (teliti)”. (HR. Baihaqi)
Keteladanan dan lingkungan kerja
Pelatihan bagi dokter dan praktek mengobati di awal karier di lingkungan kerja kesehatan sangat perlu diadakan oleh lembaga kesehatan  dengan mempraktekkan sifat amanah  dan kerja profesional. Setelah pertolongan dari Allah, hal ini punya andil besar menjadikan seorang dokter  mampu menerapkan prilaku ini (amanah dan profesional) dalam prakteknya  di masa yang akan datang.



(3). Ihsan dan Muraqabah
(Merasa Diawasi Oleh Allah)
Pentingnya ihsan bagi seorang dokter
Dokter muslim selalu merasa diawasi oleh Allah dalam seluruh gerak-gerik kehidupannya sehingga dia menjadi orang yang bersemangat, bekerja sesuai prosedur, dan memperhatikan pasien dengan sebaik-baiknya. Dia melakukan hal itu tanpa ada sangkut paut karena pimpinan atau orang lain. Demikian itu karena dokter muslim istimewa dengan sebuah karakter mulia. Ketahuilah, hal itu adalah ihsan.
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Dalil-dalil syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
 إِنَّ اللهَ لاَ يَخْفَىَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.”(Ali-Imran: 5)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ 
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19)





DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Ad Damasyiqi Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi, Al- Bayan wa Ta’rifi fi Asbabul Wurud al-Hadisi Syarfi
Al-Atsari Abu Ihsan, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-qur'an dan as-Sunnah, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2007
Al-Bukhari Abullah ibn Ismail, kitab shahih Bukhari al-Alamatu al Mudaqaq, Juz   IV; t.t: Maqtabatu Rahidan.
At-Thabiibul Muslimu Tamayyuzun wa Simaatun yang ditulis oleh Dr. Yusuf bin Abdillah at-Turky dan diterjemahkan oleh dr. Supriadi dengan judul  “ Dokter Muslim Istimewa dan Ungggul “



kultum tentang stres dan solusinya

MATERI KULTUM
TENTANG STRES DAN SOLUSINYA






OLEH
INDAH MAYA SARI
201510104282




PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIPLOMA IV
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN‘ AISYIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2016



Description: https://paksalam.files.wordpress.com/2010/09/bismillah-web.jpg
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ  
Segala puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT atas segala nikmanya yang telah diberikan kepada kita semua. Baik itu nikmat kesehatan, nikmat taufik hidayah dan nikmat yang paling besar adalah nikmat Iman dan Islam, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk berkumpul diruangan yang sejuk dan penuh barokah dalam rangka menuntut ilmu di kampus yang kita cintai..........
Shalawat serta salam tidak lupa kita sanjungkan kepada baginda kita nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju ke alam yang terang benerang seperti yang kita rasakan saat ini.
Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan sepatah dua patah mengenai stres dan solusinya.
Stres adalah suatu tekanan atau reaksi tubuh baik fisik maupun psikis yang terjadi karena ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan yang diinginkan oleh individu. stres  merupakan fenomena universal yang setiap orang bisa mengalaminya yang berdampak pada fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual. Pada mahasiswa dalam menghadapi atau menjalani perkuliahan yang terlalu padat, praktek klinik yang sangat melelahkan, tugas yang banyak dan proses pembuatan KTI / skripsi merupakan faktor pemicu stres sehingga menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak teratur  Stres mempunyai  beberapa tingkatan , yakni stres ringan, stres sedang dan stres berat.
Dalam pandangan agama islam tidak memandang stres (yang disebut sebagai ujian atau bala) sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan islam memandangnya sebagai sesuatu yang diperlukan demi perkembangan manusia. Dengan stres inlah kita dinilai apakah kita termasuk orang- orang yang bersabar atau tidak. Sabar adalah tanda keimanan sehingga dapat dikatakan bahwa stres semacam alat uji tentang keimanan kita kepada Allah Swt
Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 155-157 yang artinya “ Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelapran, kekurangan harta, jiwa , dan buah-buahan, dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yatu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Nya ), mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Diriwayatkan dari Abus sa’id daan abu hurairah r.a bahwa rasulullah Saw bersabda
“ Tidak akan diuji seseorang yang beriman, baik dengan masalah yang menipa keluarganya, hartanya, atau tubuhnya dengan sakit sehingga menyebabkan bersedih hati dan cemas yang yang meliputinya kecuali Allah hapuskan semua kesalahan dalam dirinya”
Dalam kesempata ini, terdapat beberapa solusi disaat kita dihadapkan dengan persoalan yang membelit pikiran, berdasarkan cara-cara Islami, yang dikembangkan menjadi tradisi bagi kebanyakan orang yang hidup di lingkungan pesantren.
Salusi  pertama adalah membaca Al-qur’an yang disertai pemahaman maknanya. Karena Al-qur’an merupakan bacaan yang paling cocok dalam segala suasana hati, baik itu dalam keadaan senang maupun dalam keadaan sedih. Firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 82 yang artinya :  “Dan kami turunkan dari al-qur’an suatu yang menjadi menawar dan rahmat bagi orang-orang beriman ....” kedua adalah dengan berzikir yang lama. Firman Allah dala surat Ar-rad ayat 28 yang artinya : “Ingatlah, hanya dengan mengigat Allahlah hati menjadi tenang”.... dengan berzikir seseorang akan mengigat Allah, maka akan menimbulkan tawakkal dan penyerahan diri kita kepada Allah. Dengan demikian, yang muncul bukanlah rasa kecewa dan penyesalan, melainkan rasa syukur yang dalam pada Allah. Bukankah Allah yang paling mengetahui keadaan dan kemampuan kita. Ketiga, dengan berpuasa. Salah satu hikmah puasa adalah untuk kesehatan. Misalnya sakit mag, seseorang yang mengidap sakit mag disebabkan beberapa faktor, yakni telat makan, makan sembarangan. Akan teapi dengan berpuasa seseorang dilatih untuk dapat mengendalikan hawa nafsu yang cendrung untuk melakukan hal-hal yang dilarang. Dengan berpuasa, seseorang akan merasa lebih dekat dengan Allah sehinggan akan merasa aman dan tentram. Keempat, sholat malam. Firman Allah dalam surat Al-Israa’ ayat 79 yang artinya : “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajutlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ketempat yang terpuji” ... dan yang terakhir adalah mengunjungi saudara sesama muslim. Dengan bersilaturami, maka berbagai persoalan yang membelit kepala, insya Allah akan dapat dicarikan penyelesaiannya. Dengan bersilaturahmi, kita dapat saling berbagi suka dan duka, berbagi kesedihan, mencurahkan pera- saan, sehingga beban berat yang menghimpit, akan terasa lebih ringan, karena kita tidak sendiri. Disamping itu, saling pesan dalam kebenaran dan kesabaran hanya mungkin terlaksana apabila tali ukhuwah tetap terjalin. Hadist nabi yang diriwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda " Diantara hamba-hamba Allah ada sekelompok orang yang bukan nabi dan syuhada, tetapi para nabi dan syuhada merasa tergiur dengan keadaan mereka, karena kedudukannya yang mulia di sisi Allah. Para sahabat bertanya, " Wahai Rasulullah, siapakah mereka itu ?". Jawab beliau : "Mereka adalah sekelompok orang yang memadu cinta kasih dalam mencari keridhaan Allah, yang diantara mereka tidak ada hubungan kerabat dan tidak ada tujuan duniawi. Demi Allah, wajah mereka bercahaya, sedangkan mereka tidak merasa khawatir dan takut ketika orang lain dilanda perasaan khawatir dan takut. Mereka tidak berduka cita ketika orang lain menderita ". dari lima macam solusi pengusir kegundahan hati (stress). Insya Allah bila kita dapat melaksanakan salah satu dari ke lima diatas, Allah akan menghapus segala kesedihan dan kegundahan dari hati kita. Akhirnya, marilah kita berdoa agar Allah senantiasa kita diberi kekuatan, diberi kelapangan, sehingga kita dapat meniti kehidupan ini dengan segala perasaan damai, dengan tenteram dan dijauhkan dari persoalan-persoalan yang membelit jiwa.
Baiklah mungkin itu yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Krang lebihnya Saya mohon maaf karena kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT.
Description: https://teddirafdianto.files.wordpress.com/2008/02/wasalam.jpg




makalah sewa rahim

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi ini bertujuan untuk menjadikannya sebagai khalifah agar mengurusi persoalan kehidupan di dunia. Oleh karenanya bersamaan dengan hal itu Allah SWT menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, dan menghasilkan keturunan yang banyak, sehingga merekalah yang nantinya akan hidup di muka bumi ini sebagai manusia-manusia yang mewarisi tugas untuk mengemban amanah tersebut.
Sudah menjadi fitrah manusia berkeinginan untuk memiliki keturunan pada saat setelah berlangsungnya pernikahan. Akan tetapi, masih banyak dari kalangan suami-istri yang menjumpai hambatan untuk memperoleh keturunan. Sehingga ada beberapa diantara mereka yang tidak dapat menghasilkan keturunan kemudian mengangkat seseorang untuk dijadikannya sebagai anak.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, cara untuk memperoleh anak pun dengan mudah didapatkan dengan memanfaat teknologi yang telah berkembang di era globalisasi ini, maka ditempuhlah dengan jalan menggunakan bayi tabung dan dengan cara sewa rahim atau rental rahim atau surrogate mother.
Di Indonesia tentunya sudah tidak lazim lagi mendengar kata bayi tabung, bahkan prakteknya sudah dilakukan secara terbuka dan telah dilegalkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk surrogate mother itu sendiri masih kita dapatkan pro dan kontra mengenai tata cara dan praktek dalam penggunannya.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimana Pandangan hukum Islam tentang Surrogate Mother di Indonesia?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pandangan hukum positif di Indonesia tentang Surrogate Mother.
2.      Untuk mengetahui pandangan hukum islam tentang Surrogate Mother.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Surrogate Mother
1.      Pengertian Surrogate Mother
Menurut istilah traditional surrogacy, ibu sewa mengandung  anaknya sendiri secara biologis, namun anak ini setelah lahir akan diberikan  pada orang tua lain yang akan mengangkatnya sebagai anak; baik  oleh ayah biologisnya sendiri, dan mungkin untuk mitranya (mitra ayah biologisnya), baik wanita maupun pria. Menurut istilah gestational surrogacy,  ibu  sewa mengandung  lewat transfer embrio dimana ia berarti bukan ibu si anak secara biologis. Ibu sewa tersebut bisa membuat kesepakatan dengan ibu atau ayah biologisnya untuk mengangkat anak yang akan dilahirkannya  sebagai anak mereka sendiri, atau dengan orang tua (pasangan  suami istri) yang bahkan  tidak memiliki hubungan apa-apa dengan si anak (misalnya, anak ini dikandung dengan cara transfer embrio yang diambil dari donor benih dan atau donor sperma).
Menurut istilah altruistic surrogacy, ibu sewa tidak menerima bayaran atas kehamilannya atau atas anak yang akan diserahkannya (namun terkadang untuk biaya medis selama masa hamil dan melahirkan ditanggung oleh calon orang tua yang akan mengasuh si bayi). Sedangkan commercial surrogacy sebaliknya, dimana si ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang tua angkatnya.
Kata surrogate berasal  dari  bahasa  latin subrogare (yang artinya menggantikan), yang berarti wanita yang  ditunjuk untuk  bertindak  sebagai  ibu  pengganti atau ibu sewa. Para orang tua angkat (yang menunjuk ibu sewa) adalah individu atau orang-orang yang akan membesarkan anak tersebut setelah dilahirkan. Ada kecenderungan sekarang ini untuk membatasi istilah ‘surrogacy’  hanya berarti “gestational surrogacy ”.
Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai macam istilah di antaranya: al-‘ummu al-musta’jiral-ummu al-badilahal-musta’jiral-hadlanahsyatlul janinal-ummu al-kazibahar-rahmu al-musta’ar, atau ta’jirul arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan istilah ar-rahmu al-musta’jir atau al-‘ummu al-badilah. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, sewa rahim dikenal dengan istilah surrogate mother.
Menurut Ali ‘Arif, di dalam bukunya al-’Ummu al-Badlilah (ar-Rahmu al-Musta’jirah) sebagaimana dikutip oleh Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, sewa rahim adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi dengan benih laki-laki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut hingga lahir. Kemudian anak itu diberikan kembali kepada pasangan suami isteri tersebut untuk memeliharanya dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut undang-undang.
Yahya Abdurrahman al-Khatib mendefinisikan sewa rahim adalah dua orang suami isteri yang membuat kesepakatan bersama wanita lain untuk menanamkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi) dari wanita pertama dengan sperma suaminya pada rahim wanita kedua dengan upah yang telah disepakatinya. Selanjutnya, wanita kedua ini disebut :
a.       Al-’ummu al-musta‘ar (ibu pinjaman), yaitu wanita yang di dalam rahimnya dimasukkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi). Ia juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang menyewakan perutnya).
b.      Ar-rahim az-zi’r. Secara etimologis az-zi’r adalah wanita yang belas kasih kepada anak orang lain dan yang menyusuinya, sama saja dari manusia atau unta. Sedangkan bentuk jamaknya adalah az’uraz’ar dan zu’ur. Yang dimaksud dengan ar-rahim az-zi’r di sini adalah bahwa sel telur itu diambil dari seorang wanita, sedang rahim yang mengandung  dan  yang melahirkan adalah wanita lain.
c.       Syatlu al-janin (penanaman janin), yaitu seorang suami mencampuri isterinya  yang tidak layak hamil, kemudian sperma itu dipindahkan dari isterinya ke dalam rahim wanita lain yang mempunyai suami  melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita inilah yang mengandungnya hingga melahirkan.
d.      Al-mudl’ifah (wanita pelayan), yaitu wanita lain dimana sel telur (ovum) yang telah diinseminasi (dibuahi) dipindahkan ke dalam rahimnya. Ia juga disebut dengan ummu bi al-wakalah (ibu perwakilan).

Sedangkan Said Agil Husin al-Munawar mendefinisikan sewa rahim adalah penitipan sperma dan ovum dari sepasang suami isteri ke dalam rahim wanita lain. Penyewaan rahim biasanya melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa variabel suatu kasus bisa dikualifikasi sebagai praktek sewa rahim yaitu:
a.       Menjadikan rahim wanita lain (selain isteri) sebagai tempat untuk menitipkan atau membuahkan sperma dan ovum baik melalui teknik Fertilisasi in Vitro (FIV) maupun melalui teknik TandurAlih  GametIntraTuba (TAGIT)dan  janin  itu  dikandung  oleh  wanita tersebut hingga lahir.
b.      Penyewaan Rahim biasanya dilakukan melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian  tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak.
c.       Anak yang dihasilkan dari sewa rahim ini biasanya diserahkan kembali pada orang atau pasangan yang memesannya, dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut Undang-Undang.
d.      Ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang atau pasangan yang memesannya.
Surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat.
Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement. Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali. Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.

Sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah:
a.       Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
b.       Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
c.       Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
d.      Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
e.       Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.

2.      Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim.
a.       Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
b.       Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan  dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
c.       Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
d.      Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
e.        Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.




















BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Hukum Di Indonesia Tentang Surrogate Mother
1.      Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan.  Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.  Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian.  Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang.  Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak.  Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain:
a.       Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c.       Suatu pokok persoalan tertentu.
d.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal.  Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut:
a.       Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
1)      UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
a)      Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)      Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)      Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2)      Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
a)      Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
b)      Pasal 10 :
(1)  Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2)    Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
3)      SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
a)      Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
b)      Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
c)      Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)



b.      Bertentangan dengan kesusilaan:
1)      Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
2)       Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
c.       Bertentangan dengan ketertiban umum:
1)      Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.
2)      Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
Point 1, 2 dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

d.       Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.

2.      Pandangan Islam Tentang Surrogate Mother
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim.  Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan.  Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a.       Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :
Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
Pendapat lain ada yang mengatakan kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan sperma dan atau ovum atau dengan ibu titipan, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya atau hubungan perdatanya hanya dengan ibu yang melahirkan dan keluarga si ibu itu.
b.       Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:
Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.


Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak.  Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya menyatakan:

Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan.  Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.  Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, karena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar.

Pendapat kedua :
Menurut sebagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana (anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.

MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut : 
1.      Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
2.      Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3.      Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4.      Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. 

Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
1.      Mengacaukan  hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
2.      Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.

Beberapa Fatwa ulama yang mengharamkan Surrogate Mother
1.      fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت بأنه لا يجوز للأم المذكورة التبرع لابنتها برحمها؛ لما يترتب على ذلك من محاذير شرعية
Setelah Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka AL-Lajnah memutuskan bahwasanya tidak boleh (haram) bagi ibu tersebut meminjamkan rahimnya kepada anak perempuannya. Karena akan muncul kerusakan dalam syariat
2.      Fatwa Profesor Abdullah Al-Jibrin rahimahullah
Kita katakan ini adalah sesuatu yang baru dan mungkar, tidak ada ulama sebelumnya yang berbicara mengenai hal ini dan tidak disebut oleh ulama dan imam-imam orang Islam bahwa hal ini boleh. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini HARAM alasan yang pertama adalah karena perintah Allah Ta’ala agar menjaga kemaluan sebagaimana firman Ta’ala,
“وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”(Al-Mukminun: 5-6)
3.      Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Lembaga Riset dan Fatwa al-Azhar).
Adapun menyewakan rahim maka hukumnya HARAM secara syariat.  Fatwa Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyyah telah mengeluarkan keputusan nomor 1 tanggal 29 Maret 2001 yang mengharamkan penyewaan rahim. Para ulama fikih kontemporer pun sepakat mengenai keharamannya. Salah satu alasannya adalah karena tidak dapat dipastikan siapa ibu yang sebenarnya bagi bayi itu disebabkan terdapat pihak ketiga (pemilik rahim yang disewa). Sehingga timbul kerancuan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi ibu bayi itu, apakah wanita pemilik sel telur yang darinya tercipta janin itu dan yang membawa seluruh sifat genitasnya, ataukah wanita yang di dalam rahimnya seluruh proses perkembangan bayi itu berlangsung hingga menjadi sosok yang sempurna?
Adanya perselisihan dan perdebatan yang besar  seperti ini bertentangan dengan tujuan dan maksud syariat Islam berupa menciptakan kestabilan, ketentraman dan menghilangkan pertikaian atau membatasinya pada skala sekecil mungkin

3.       Konsep darurat dalam sewa rahim
Makna darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya .
Kemudian para ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
a.         Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
b.         Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
c.         Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
d.        Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
e.         Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Dalam prakteknya para ulama’ memberikan pengecualian pada kaidah ini, diantaranya adalah:
Pertama, apabila menghilangkan kemudlaratan itu mengakibatkan datangnya kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal ini tidak diperbolehkan melakukan kemudlaratan tersebut. Seperti seseorang yang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga dalam  kelaparan, meskipun orang yang pertama juga kelaparan.
Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudlaratan menimbulkan kemudlaratan yang lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal ini lebih tidak diperbolehkan. Selain itu, dalam menghilangkan kemudlaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan.















BAB IV
PENUTUP

A.      Simpulan
1.      Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim, merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi.  Praktek sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak.  Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini.  Hak anak yang seharusnya diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya. 
2.      Indonesia belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother.  Hal tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). 
3.      Posisi sewa rahim di dunia masih ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak praktek sewa rahim ini, akan tetapi  banyak juga negara yang membolehkan sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll.  Sementara itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat tentang pengharaman praktek  sewa rahim dalam keadaan berikut : menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami istri tersebut meninggal
4.      Status anak dari sewa rahim dengan menggunkan sperma dan ovum dari pasangan suami istri dan kemudian di transplantasikan kedalam rahim ibu titipan adalah sama dengan zina. Adapun status anak dari sewa rahim yang dilakukan dengan menggunkan sperma dan ovum dari pasangan suami istri kemudian ditransplantasikan ke dalam rahim intri yang lain dari suami yang sama maka sama dengan anak tiri, hal ini disebabkan karena lahirian anak tersebut adalah milik ibu yang melahirkan, tetapi secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai bibit.














DAFTAR PUSTAKA


Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: al Hikmah), 1995
Departemen Agama R.I. Al-Quran danterjemahannya. Cet. 9; Bandung:   Diponegoro, 2009
Kitab Undang-undang Hukum  Perdata.
Nabaha, Radin Seri. Penyewaan Rahim dalam Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah Islamiyah Cairo : American Open University  2004
Ratman, DesrizaSurrogate Mother dalam Perspektif  Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim  di Indonesia?PT Elex Media Komputind, 2012
[skripsi] Sobari, Alwan. 2008. Sewa Rahim Dalam Persfektif Islam (Sebuah Studi Eksploratif dan Analitis). Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.