AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
Hadist Tematik tentang Dokter Tamu
NAMA
KELOMPOK :
1.HAFIFAH
WIJAYANTI
2.LIDYA
YULANDA SARI
3.
INDAH MAYA SARI
4.
TIA NUR HANIFAH
5.
NOVITASARI TRIHASTUTI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
AISYIYAH
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV BIDAN
PENDIDIK
YOGYAKARTA
2016
Hadist Tematik tentang Dokter Tamu
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ
الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ
سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ
عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ
قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ
وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ
عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf
telah menceritakan kepada kami Al Laits dia berkata; telah menceritakan
kepadaku Sa'id Al Maqburi dari Abu Syuraih Al 'Adawi dia berkata; "Saya
telah mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sabdanya: "Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan
tamunya, dan menjamunya" dia bertanya; 'Apa yang dimaksud dengan
menjamunya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "yaitu pada siang dan
malam harinya, bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah bagi tamu
tersebut." Dan beliau bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam."
Dalil Al Qur’an dan Hadist bertamu
Sahabat
Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَأتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
وَلَكِنَّ أئتُوْهَا مِنْ جَوَانَبِهَا فَاسْتَأْذِنُوا٬ فَإِنْ أَذِنَ لَكُمْ
فَادْخُلُوا وَإلاَّ فَارْجِعُوا٠
"Janganlah
kalian mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari
samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika
tidak, pulanglah." (HR. Tabrani) .
Dalam
hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu
dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang
semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah
tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya
dilihat orang lain.
Bisa jadi tuan rumah baru berpakaian rumah
yang transparan, atau boleh jadi sedang sibuk bekerja sehingga perlu bersisir.
Atau mungkin peralatan rumah tangga semrawut sehingga perlu dirapikan dan
diatur lebih dahulu. Karenanya bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan
mengkorek keburukan dan aurat. Padahal yang demikian dilarang dalam Islam.
Karenanya Nabi saw memerintahkan agar kita tidak mendatangi rumah dari depan
pintu, namun lewat samping pintu, kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan
penuh kesopanan.
Etika
kedua dalam bertamu adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. Jika
diijinkan kita masuk, jika tidak, kita pulang. Diijinkan masuk, tandanya
dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak
diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain,
atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti
batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain.
Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika
tidak dibukakan hendaklah kita pulang.
Menghargai tamu, memuliakan tetangga dan bertutur kata
yang baik adalah wujud pengakuan dari beriman kepada Allah dan hari akhir,
karena dengan melaksanakannya berarti membenarkan adanya Allah Swt.
1. Menghargai Tamu
Maksud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup
perseorangan maupun kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan
kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3
hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan sedekah. Yang dimaksud dengan
memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin.
Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak
memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas
kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari
tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib
memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur
memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib
kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu,
termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan
senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang
diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka
dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai
dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga
mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa
memperlihatkan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang
melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
a)
Masuk ke rumah
orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat
menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b)
Masuk ke dalam
rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja
disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c)
Ikut
berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan
itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d)
Duduk setelah dipersilahkan,
kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
e)
Duduk dengan
sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas
suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai
kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika
hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas
kemampuan yang kita miliki.
Jika
ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat
Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam.
Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan
masyarakat yang aman dan damai.
2.
Berkata
yang Baik atau Diam
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”,
maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang
(keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya
mendapatkan ridha Allah,“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena
orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada
ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai
tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bias dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mamp umaka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di
luar ketigahal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan.Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang
paling berat.
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena
itu, hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga)
emas dan peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa
hingga ia menyimpan lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut
untuk tahu bagaimana menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya
dan diam pada tempatnya, tidak mengumpat orang lain, tidak mengadu domba
mereka, tidak merendahkan mereka dengan ucapan, tidak memperolok mereka, tidak
mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain, dan lain sebagainya. Imam Ali
as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya menguasai dirinya”. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah
memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik
maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan
dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu.
Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan.
Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan
(jangan bicara).”
Berikut akan
disampaikan tentang sifat-sifat yang semestinya dimiliki oleh seorang dokter
tamu muslim :
- Niat (yang ikhlas) dan mengharapkan pahala dari
Allah.
- Amanah dan profesional dalam bekerja.
- Ihsan dan muraqabah (merasa
diawasi oleh Allah).
- Tazkiyatun-nafs (pembesihan jiwa) dan muhasabah(introspeksi
diri).
- Menuntut ilmu berkesinambungan dan berkelanjutan.
- Kepribadian yang istimewa dan akhlak yang
baik; tawaddu’, jujur, penyayang, adil, tolong menolong
dan menyukai kebaikan bagi orang lain, malu berbuat dosa,
santun dan lemah lembut.
- Menghormati hak-hak pasien.
- Tafaqquh fid-din (Mempelajari
dan memahami hukum-hukum agama), terutama dalam permasalahan
khusus yang terkait dengan kedokteran.
- Memberikan kepada setiap orang haknya
masing-masing.
(1).
Niat yang Ikhlas dan Berharap Pahala dari Allah
Pentingnya niat dalam amal dan
mengharapkan pahala dari Allah
Sesungguhnya seorang yang belajar ilmu
kedokteran hendaknya mengintrospeksi kembali niatnya. Hal ini merupakan
perkara yang sangat penting dan seyogyanya mendapatkan perhatian. Niat adalah
pondasi amal. Baiknya suatu amal ditentukan oleh dua syarat, yaitu;
Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan mengikuti sunnah Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Niat yang ikhlas karena Allah akan membawa amal-amal yang
bersifat duniawi menjadi ibadah kepada Allah, di mana seorang muslim
senantiasa mengharapkan pahala dan dan ganjaran dari Allah baik di dunia maupun
di akhirat.
Dalil-dalil
syar’i
Dari Umar bin
Khattab Radhiyallahu
‘anhu dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [متفق عليه]
“Sesungguhnya setiap amal-amal itu tergantung dengan niat, dan
sesungguhnya hanyalah bagi setiap orang akan mendapatkan apa yang ia
niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia
yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka
hijrahnya untuk apa yang dia niatkan itu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lebih mengutamakan pelayanan dari sekedar bayaran
Sesungguhnya seorang dokter yang mencari wajah Allah dengan profesinya,
maka Anda akan menemukannya sebagai orang yang sangat mementingkan pasiennya.
Dia mencurahkan apa yang dimiliki dan dimampuinya demi kesehatan dan kebaikan
pasien.
Dia mengobati pasien dengan ilmu yang benar, tidak memberatkan
pasien mengeluarkan uang banyak, seperti melakukan pemeriksaan atau
memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan berdasarkan ilmu kedokteran.
Bahkan kita menemukan dokter tersebut mengobati pasien dengan cara-cara
yang sesuai dengan ilmu kedokteran yang benar di manapun dia bekerja.
Dengan semua itu dia mencari wajah Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Dia tidak
mencari keterkenalan ataupun kekayaan. Namun apabila hal itu terjadi, maka itu
semata-mata keutamaan dari Allah. Dia tidak tertipu dengan keterkenalan dan
kekayaan itu. Orientasinya adalah keridhaan Allah, bukan keridhaan makhluk yang
selera mereka cepat sekali berubah antara sore dan pagi hari.
(2). Amanah,
Sungguh-Sungguh, dan Profesional
Pentingnya
amanah dan profesional dalam bekerja
Sesungguhnya seorang dokter muslim seyogyanya untuk tampil istimewa
dengan mewujudkan sifat amanah dalam praktek kesehariannya. Bahkan dia wajib
mewujudkan hal itu dalam seluruh sendi kehidupannya. Di antara perkara yang
menguatkan kesungguhan dan profesionalisme seorang dokter adalah
mementingkan tugasnya, tidak bermalas-malasan ataupun membuang-buang waktu,
menghormati hak-hak pasien dan profesional dalam mengurus dan memperhatikan
pasien sesuai prosedur guna menjalankan amanah sebagai seorang dokter.
Dalil-dalil
syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ
الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Maha Suci
Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk:
1-2)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
وَالَّذِينَ
هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan
orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikul-nya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij:
32).
Dalam sebuah hadits yang mulia
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya
Allah menyukai apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan suatu
pekerjaan dengan sempurna (teliti)”. (HR. Baihaqi)
Keteladanan
dan lingkungan kerja
Pelatihan bagi dokter dan praktek
mengobati di awal karier di lingkungan kerja kesehatan sangat perlu diadakan
oleh lembaga kesehatan dengan mempraktekkan sifat amanah dan kerja
profesional. Setelah pertolongan dari Allah, hal ini punya andil besar
menjadikan seorang dokter mampu menerapkan prilaku ini (amanah dan
profesional) dalam prakteknya di masa yang akan datang.
(3). Ihsan dan Muraqabah
(Merasa
Diawasi Oleh Allah)
Pentingnya
ihsan bagi seorang dokter
Dokter muslim
selalu merasa diawasi oleh Allah dalam seluruh gerak-gerik kehidupannya
sehingga dia menjadi orang yang bersemangat, bekerja sesuai prosedur, dan
memperhatikan pasien dengan sebaik-baiknya. Dia melakukan hal itu tanpa ada
sangkut paut karena pimpinan atau orang lain. Demikian itu karena dokter muslim
istimewa dengan sebuah karakter mulia. Ketahuilah, hal itu adalah ihsan.
Ihsan adalah
engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Dalil-dalil
syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
اللهَ لاَ يَخْفَىَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء
“Sesungguhnya
bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di
langit.”(Ali-Imran: 5)
يَعْلَمُ
خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Ad
Damasyiqi Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi, Al- Bayan wa Ta’rifi fi
Asbabul Wurud al-Hadisi Syarfi
Al-Atsari
Abu Ihsan, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-qur'an dan as-Sunnah,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2007
Al-Bukhari
Abullah ibn Ismail, kitab shahih Bukhari al-Alamatu al Mudaqaq, Juz IV;
t.t: Maqtabatu Rahidan.
At-Thabiibul
Muslimu Tamayyuzun wa Simaatun yang ditulis oleh Dr. Yusuf bin
Abdillah at-Turky dan diterjemahkan oleh dr. Supriadi dengan judul “
Dokter Muslim Istimewa dan Ungggul “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar