Jumat, 26 Februari 2016

hadist teatik tentang dokter tamu

AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
Hadist Tematik tentang Dokter Tamu


NAMA KELOMPOK :
1.HAFIFAH WIJAYANTI
2.LIDYA YULANDA SARI
3. INDAH MAYA SARI
4. TIA NUR HANIFAH
5. NOVITASARI TRIHASTUTI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AISYIYAH
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV BIDAN PENDIDIK
YOGYAKARTA
2016


Hadist Tematik tentang Dokter Tamu
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ
سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Al Laits dia berkata; telah menceritakan kepadaku Sa'id Al Maqburi dari Abu Syuraih Al 'Adawi dia berkata; "Saya telah mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sabdanya: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan menjamunya" dia bertanya; 'Apa yang dimaksud dengan menjamunya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "yaitu pada siang dan malam harinya, bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah bagi tamu tersebut." Dan beliau bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam."

Dalil Al Qur’an dan Hadist bertamu
Sahabat Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
 لاَ تَأتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَلَكِنَّ أئتُوْهَا مِنْ جَوَانَبِهَا فَاسْتَأْذِنُوا٬ فَإِنْ أَذِنَ لَكُمْ فَادْخُلُوا وَإلاَّ فَارْجِعُوا٠ 
"Janganlah kalian mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika tidak, pulanglah." (HR. Tabrani) .
Dalam hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya dilihat orang lain.
     Bisa jadi tuan rumah baru berpakaian rumah yang transparan, atau boleh jadi sedang sibuk bekerja sehingga perlu bersisir. Atau mungkin peralatan rumah tangga semrawut sehingga perlu dirapikan dan diatur lebih dahulu. Karenanya bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan mengkorek keburukan dan aurat. Padahal yang demikian dilarang dalam Islam. Karenanya Nabi saw memerintahkan agar kita tidak mendatangi rumah dari depan pintu, namun lewat samping pintu, kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan penuh kesopanan. 
Etika kedua dalam bertamu adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. Jika diijinkan kita masuk, jika tidak, kita pulang. Diijinkan masuk, tandanya dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain, atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain. Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika tidak dibukakan hendaklah kita pulang.
Menghargai tamu, memuliakan tetangga dan bertutur kata yang baik adalah wujud pengakuan dari beriman kepada Allah dan hari akhir, karena dengan melaksanakannya berarti membenarkan adanya Allah Swt.
1.    Menghargai Tamu
Maksud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup perseorangan maupun kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan sedekah. Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
a)      Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b)      Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c)      Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d)     Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
e)      Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
2.    Berkata yang Baik atau Diam
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah,“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bias dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mamp umaka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di luar ketigahal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan.Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat.
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga) emas dan peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa hingga ia menyimpan lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut untuk tahu bagaimana menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya dan diam pada tempatnya, tidak mengumpat orang lain, tidak mengadu domba mereka, tidak merendahkan mereka dengan ucapan, tidak memperolok mereka, tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain, dan lain sebagainya. Imam Ali as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya menguasai dirinya”. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Berikut akan disampaikan tentang sifat-sifat yang semestinya dimiliki oleh seorang dokter tamu muslim :
  1. Niat (yang ikhlas) dan mengharapkan pahala dari Allah.
  2. Amanah dan profesional dalam bekerja.
  3. Ihsan  dan  muraqabah (merasa diawasi oleh Allah).
  4. Tazkiyatun-nafs (pembesihan jiwa) dan muhasabah(introspeksi diri).
  5. Menuntut ilmu berkesinambungan dan berkelanjutan.
  6. Kepribadian yang istimewa dan akhlak yang baik; tawaddu’,  jujur, penyayang, adil, tolong menolong dan menyukai kebaikan bagi orang lain, malu berbuat dosa,  santun dan lemah lembut.
  7. Menghormati  hak-hak pasien.
  8. Tafaqquh fid-din (Mempelajari dan memahami hukum-hukum agama)terutama dalam permasalahan khusus yang terkait dengan kedokteran.
  9. Memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing.
(1). Niat yang Ikhlas dan Berharap Pahala dari Allah
      Pentingnya niat dalam amal dan mengharapkan pahala dari Allah
      Sesungguhnya seorang yang belajar ilmu kedokteran hendaknya mengintrospeksi kembali  niatnya. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting dan seyogyanya mendapatkan perhatian. Niat adalah pondasi  amal. Baiknya suatu amal ditentukan oleh dua syarat, yaitu; Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan mengikuti  sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niat yang ikhlas karena Allah akan membawa amal-amal yang bersifat duniawi  menjadi ibadah kepada Allah, di mana seorang muslim senantiasa mengharapkan pahala dan dan ganjaran dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Dalil-dalil syar’i
Dari Umar bin Khattab  Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [متفق عليه]
“Sesungguhnya setiap amal-amal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya hanyalah bagi setiap orang akan mendapatkan  apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya untuk apa yang dia niatkan itu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lebih mengutamakan pelayanan dari sekedar bayaran  
Sesungguhnya seorang dokter yang mencari wajah Allah dengan profesinya, maka Anda akan menemukannya sebagai orang yang sangat mementingkan pasiennya. Dia mencurahkan apa yang dimiliki dan dimampuinya demi kesehatan dan kebaikan pasien.
Dia mengobati pasien dengan  ilmu yang benar, tidak memberatkan pasien mengeluarkan  uang banyak, seperti melakukan pemeriksaan atau memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan berdasarkan ilmu kedokteran. Bahkan  kita menemukan dokter tersebut mengobati pasien dengan cara-cara yang sesuai dengan ilmu kedokteran yang benar di manapun dia bekerja.  Dengan semua itu dia mencari wajah Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Dia tidak mencari keterkenalan ataupun kekayaan. Namun apabila hal itu terjadi, maka itu semata-mata keutamaan dari Allah. Dia tidak tertipu dengan keterkenalan dan kekayaan itu. Orientasinya adalah keridhaan Allah, bukan keridhaan makhluk yang selera mereka cepat sekali berubah antara sore dan pagi hari.
(2). Amanah, Sungguh-Sungguh,  dan Profesional
Pentingnya amanah dan profesional dalam bekerja
      Sesungguhnya seorang dokter muslim seyogyanya untuk tampil istimewa dengan mewujudkan sifat amanah dalam praktek kesehariannya. Bahkan dia wajib mewujudkan hal itu dalam seluruh sendi kehidupannya. Di antara perkara yang menguatkan  kesungguhan dan profesionalisme seorang dokter adalah mementingkan tugasnya, tidak bermalas-malasan ataupun membuang-buang waktu, menghormati hak-hak pasien dan profesional dalam mengurus dan memperhatikan pasien sesuai prosedur guna menjalankan amanah sebagai seorang dokter.



Dalil-dalil syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ 
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 1-2)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikul-nya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij: 32).
Dalam sebuah hadits yang mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ 
“Sesungguhnya Allah menyukai apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan suatu pekerjaan dengan sempurna (teliti)”. (HR. Baihaqi)
Keteladanan dan lingkungan kerja
Pelatihan bagi dokter dan praktek mengobati di awal karier di lingkungan kerja kesehatan sangat perlu diadakan oleh lembaga kesehatan  dengan mempraktekkan sifat amanah  dan kerja profesional. Setelah pertolongan dari Allah, hal ini punya andil besar menjadikan seorang dokter  mampu menerapkan prilaku ini (amanah dan profesional) dalam prakteknya  di masa yang akan datang.



(3). Ihsan dan Muraqabah
(Merasa Diawasi Oleh Allah)
Pentingnya ihsan bagi seorang dokter
Dokter muslim selalu merasa diawasi oleh Allah dalam seluruh gerak-gerik kehidupannya sehingga dia menjadi orang yang bersemangat, bekerja sesuai prosedur, dan memperhatikan pasien dengan sebaik-baiknya. Dia melakukan hal itu tanpa ada sangkut paut karena pimpinan atau orang lain. Demikian itu karena dokter muslim istimewa dengan sebuah karakter mulia. Ketahuilah, hal itu adalah ihsan.
Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Dalil-dalil syar’i
Allah Ta’ala berfirman,
 إِنَّ اللهَ لاَ يَخْفَىَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.”(Ali-Imran: 5)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ 
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19)





DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Ad Damasyiqi Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi, Al- Bayan wa Ta’rifi fi Asbabul Wurud al-Hadisi Syarfi
Al-Atsari Abu Ihsan, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-qur'an dan as-Sunnah, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2007
Al-Bukhari Abullah ibn Ismail, kitab shahih Bukhari al-Alamatu al Mudaqaq, Juz   IV; t.t: Maqtabatu Rahidan.
At-Thabiibul Muslimu Tamayyuzun wa Simaatun yang ditulis oleh Dr. Yusuf bin Abdillah at-Turky dan diterjemahkan oleh dr. Supriadi dengan judul  “ Dokter Muslim Istimewa dan Ungggul “



Tidak ada komentar:

Posting Komentar